Jikalau Anda pernah bertamasya ke kota Bandung dan pernah membawa putra-putri anda naik kuda di sekitar kebun-binatang Tamansari dan di sekitar kampus ITB, barangkali anda pernah membaca tanda-larangan di lapangan depan kampus ITB sebelah barat yang terkenal sebagai lapangan Aula Barat, yang tertulis seperti ini :
Sayang sekali saya tidak memiliki fotonya. Terakhir memperhatikannya kira-kira sekitar tiga puluh tahunan lalu. Saat itu barangkali Pak KK (Kusmayanto Kadiman) yang eks rektor ITB itu masih sebagai mahasiswa yang berambut gondrong atau di masa-masa terakhirnya sebagai mahasiswa di kampus tersebut. Tentu saja yang dimaksud bukan menembak burungnya pak rektor ITB - wah bu rektor bisa ngamuk entar. Yang dimaksud tentunya adalah pelarangan mengganggu apalagi menembak burung-burung tekukur (balam, derkuku ), perkutut, burung gereja dan burung-burung lainnya yang memang dibiarkan bebas bercengkerama merdeka di seantero kampus ITB dan sekitarnya.
Menurut saya larangan tersebut merupakan sebuah ajakan yang simpatik dan sebuah ekspresi tegas dalam ikut menjaga kelestarian lingkungan, sekaligus ekspresi menghormati dan menghargai hak hidup dan kebebasan ciptaan lainnya. Saya tidak tahu apakah saat ini papan pengumuman tersebut masih tertancap di lapangan tersebut atau sudah hilang. Semoga saja tetap dipertahankan oleh otorita kampus ITB. Semoga saja ada sebuah KepRek ( Keputusan Rektor ) untuk tetap melindungi kebebasan makhluk-makhluk cantik tersebut. Dan semoga saja kampus-kampus lain yang di halamannya memiliki burung-burung liar juga ikut memasang larangan semacam itu.
Beberapa tahun terakhir sering saya jumpai dan saya yakin Anda-anda sekalian juga pernah menjumpai di sekolah-sekolah khususnya di sekolah dasar, ada pedagang burung yang menjual burung-burung kepada anak-anak, sekedar untuk mainan. Sayangnya burung-burung yang dijual bukanlah burung yang memang untuk dipelihara. Burung-burung tersebut adalah burung pipit liar yang diberi cat-air berwarna-warni yang dimasukkan dalam sangkar kecil yang lucu. Di mata anak-anak tentu hal ini memang menarik. Acapkali di rumah mereka, burung-burung tersebut diikat dengan seutas benang dan diterbangkan selayaknya layang-layang.
Bagi anak-anak mainan ini memang bisa menggembirakan. Bagi orang-tua juga akan memberi kebahagiaan karena anak-anaknya bergembira. Bagi si pedagang adalah penghasilan untuk sanak-keluarganya. Dilemanya, bagi si burung ini adalah bencana dan penyiksaan yang luar biasa, karena pada umumnya mereka akan mati setelah kecapaian ditarik-diulur atau terlalu sering dipegang-pegang oleh anak-anak. Seandainya tidak mati saat dipermainkan, sangat sering burung-burung tersebut kelaparan dan kehausan dalam sangkar karena si anak sudah lupa dengan permainannya atau memang karena burung-burung mungil yang cantik tersebut stress karena tidak terbiasa terkurung dan hidup menyendiri, jauh terpisah dari keluarga dan kelompoknya.
Sepintas hal ini kasus yang sederhana saja. Kalaupun dibiarkan juga tidak akan terjadi hal-hal yang luar biasa. Namun kalaupun direnungkan agak mendalam sebenarnya tanpa disadari kita telah memberi nuansa pendidikan yang sangat buruk. Anak-anak tanpa disadarinya akan menganggap hal semacam itu sebagai hal yang biasa, bukan sebagai sebuah penyiksaan, bukan suatu hal yang berlawanan dengan asas menghormati hak hidup makhluk lainnya. Tanpa disadari anak-anak menangkap pengertian bahwa hal tersebut tidak salah. Dampaknya ke depan, di hari-hari mereka menjadi dewasa tentu akan mempunyai warna yang dilatari pengalaman masa kecilnya tersebut.
Lalu apakah hal tersebut masih akan kita biarkan saja ? Tegakah kita sebagai orang-tua membekali anak-anak atau cucu-cucu kita dengan pengalaman jiwa yang kelam seperti itu ? Masihkah Anda akan membelikan putra-putri anda yang manis-manis dengan mainan yang keji semacam itu ? Adakah sekolah, para guru dan para kepala-sekolah membiarkan anak-didiknya yang belia, lugu dan masih jernih dengan hiburan kejam semacam itu ? Saya yakin Anda-anda mempunyai jawaban yang bijaksana.
Sepintas hal ini kasus yang sederhana saja. Kalaupun dibiarkan juga tidak akan terjadi hal-hal yang luar biasa. Namun kalaupun direnungkan agak mendalam sebenarnya tanpa disadari kita telah memberi nuansa pendidikan yang sangat buruk. Anak-anak tanpa disadarinya akan menganggap hal semacam itu sebagai hal yang biasa, bukan sebagai sebuah penyiksaan, bukan suatu hal yang berlawanan dengan asas menghormati hak hidup makhluk lainnya. Tanpa disadari anak-anak menangkap pengertian bahwa hal tersebut tidak salah. Dampaknya ke depan, di hari-hari mereka menjadi dewasa tentu akan mempunyai warna yang dilatari pengalaman masa kecilnya tersebut.
Lalu apakah hal tersebut masih akan kita biarkan saja ? Tegakah kita sebagai orang-tua membekali anak-anak atau cucu-cucu kita dengan pengalaman jiwa yang kelam seperti itu ? Masihkah Anda akan membelikan putra-putri anda yang manis-manis dengan mainan yang keji semacam itu ? Adakah sekolah, para guru dan para kepala-sekolah membiarkan anak-didiknya yang belia, lugu dan masih jernih dengan hiburan kejam semacam itu ? Saya yakin Anda-anda mempunyai jawaban yang bijaksana.
// Bantar Gebang, 27 Juli 2009
Sama, di kampus saya (UNS Surakarta) juga ada burung entah apa namanya, yg besar dan sering beroperasi ketika senja datanng.
ReplyDeleteTapi, sayangnya ga ada peringatan seperti itu.