Sobat,
Beberapa hari lalu, pas kami bertetangga sedang santai ngobrol ngalor-ngidul tentang kemerdekaan, seorang anak tetangga yang berumur 5 tahunan nyamperin bapaknya utk memperbaiki rem sepeda-kecilnya yang tidak pakem. Rem yang pakem penting bagi mereka utk bisa ngepot atau berbalik arah hanya dengan ngerem roda depan. Karena bapaknya termasuk orang yang tidak handy maka dijanjikannyalah oleh bapaknya besok pagi akan dibawa ke bengkel sepeda. Ok semuanya tampak baik-baik saja, pergilah si anak melanjutkan permainan bersepedanya dengan anak-anak yang lain.
Namun beberapa saat kemudian anak itu kembali datang ke bapaknya dengan mimik mau menangis. Agaknya dia sedih karena tidak bisa ikut kegembiraan teman-temannya bermain kepot-kepotan yang memang mengasyikkan itu. Si anak dengan nada yang sangat berharap agar saat itu juga rem sepedanya bisa diperbaiki. Sayang hari sudah cukup sore, bengkel sepeda pasti sudah tutup. Bapaknya juga tampak galau kaena tidak bisa juga memperbaiki sendiri.
Well, baiklah saya ambil alih perkara. Saya suruh anak itu ke rumah saya. "Bilang pada mama untuk ngambilin tang, obeng dan oli singer ". ( Anak-anak tetangga saya hampir semuanya dekat dengan istri saya dan selalu memanggilnya sebagai mama ). Si anak berlari kecil ke rumah saya dan mengambil alat yang saya pesan. Beberapa saat kemudian rem sepedanya saya utak-atik sebentar dan saya minyaki. Semuanya lancar dan sesuai dengan yang diharapkan. Si anak segera kembali ceria dan langsung melesat bergabung dengan teman-temannya untuk bermain kepot-kepotan kembali. Si ayah tentu juga menjadi lega. Sayapun tentu ikut lega pula. Sore itu obrolan tentang kemerdekaan di antara orang-orang tua kembali berlanjut.
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Beberapa hari kemudian saat saya sedang santai sore hari dan duduk-duduk di pos ronda di gang kami, tiba-tiba ada sepeda kecil melintas di depan pos ronda - mengerem keras dan mengepot. Saya tengok ternyata si pengendara adalah si anak yang beberapa hari lalu rem-sepedanya saya perbaiki. Tanpa sepatah kata si anak sedikit melirik kepada saya sambil tersenyum kecil, senyum anak-anak yang polos. Agaknya si anak ingin memberi tahu saya bahwa rem-sepedanya masih tetap oke. Saya segera menyadari bahwa demonstrasi, lirikan dan senyum kecil tersebut adalah sebuah ungkapan terima kasih. Sore yang indah itu saya merasa sedang mendapatkan hadiah surgawi yang amat mengharukan.
Besok pagi kita akan merayakan Peringatan Proklamasi Kemerdekaan negeri kita. Sejak awal bulan kita sudah pasang bendera dan menghiasi gang-gang dan rumah kita dengan lampu atau kertas merah-putih yang ceria. Meski ekonomi saat ini sedang susah, keceriaan kemerdekaan masih dengan mudah dijumpai di segenap pelosok negeri. Kalau mau direnung-renungkan secara mendalam sebenarnya keceriaan tersebut adalah ungkapan terima-kasih dengan diperolehnya kemerdekaan, diperolehnya kebangsaan, diperolehnya nasionalisme. Semoga kemerdekaan ini selalu menjadi milik semua warga negara. Semoga tidak akan ada perpecahan dan pertikaian. Semoga semua warga saling menyadari untuk tidak saling merampas kemerdekaan warga lainnya dengan memaksakan kehendak, paham dan seleranya sendiri-sendiri.
Selamat berbahagia. Profisiat 17 Agustus 2006.
// ia-itb74, 16 Agustus 2006 , message number #16319
-
Baca juga de Oppresso Libre
ReplyDelete