17 August 2009

De Oppresso Liber


Membebaskan Yang Tertindas


Sobat,

Di tengah kegalauan dan was-wasnya hati dan logika menghadapi situasi perekonomian, pagi ini saya memperoleh sukacita meskipun kecil  saja. Walau demikian hal tersebut  saya rasakan sebagai berkah yang khusus diperuntukkan  bagi saya pagi ini. Ijinkanlah saya berbagi kisah tersebut di sini, kisah sederhana yang mungkin tidak cukup berarti.





Sejak kemarin sore, di atap kaca rumah terdengar berisik tak tek tok tak tek tok. Kami amati ternyata ada seekor tawon yang terjebak di dalam rumah dan kesulitan menemukan jalan keluar. Saya bergumam, 'Ah nanti kan dia ketemu jalan keluarnya sendiri, sengaja atau tidak sengaja'. Tetapi sampai pagi tadi ternyata si tawon belum juga beruntung karena tentunya tidak cukup cerdas membedakan udara terbuka dan kaca.
'Okelah tawon, mari kutolong kau', demikian keputusan hati saya pagi ini. Saya ambil tangga dan handuk, dan saya raih atau saya jebak si tawon agar menempel pada handuk dan tidak menyengat tangan. Terus saya bawa keluar agar terbang di udara bebas. Mungkin saja ada anak-anaknya yang menunggu diberi makan atau teman-teman sekoloninya yang menunggu kedatangannya. Selamat jalan tawon, terbanglah dan temuilah anak-anak dan saudara-saudarimu.





Ada kelegaan luar biasa di hati. Kelegaan semacam ini pernah saya alami sewaktu masih di kampus. Sore hari sewaktu pulang dari sekretariat KDD ( keluarga donor darah ) dimana saat itu saya masih menjabat sebagai pangcu-nya, pada saat melintas di depan Perpustakaan Pusat (saat itu) terdengar cicitan menyayat dari seekor burung, cicitan penderitaan atau mungkin cicitan meminta pertolongan. Ternyata ada seekor burung gereja yang kakinya terjerat benang layang-layang yang membentang antara puncak pohon di depan Departemen Seni Rupa dan tanduk atap Perpustakaan Pusat. Agaknya dia salah pilih pijakan saat mau beristirahat. Satu kakinya terjerat dan dia tidak mampu  melepaskan diri, sehingga si burung menggantung, menggelepar dan mencicit pilu. Segera saya cari sesuatu yang bisa digunakan untuk memutus benang tersebut. Ada sepotong ranting kayu sepanjang 30 - 50 cm tergeletak di tanah. Saya ambil dan lemparkan ke tali. Tampaknya alam sedang bersekutu dengan saya dan saya sedang diberkati dengan ketepatan lempar yang begitu presisi. Walau cukup tinggi, sekali lempar kena, terputuslah tali layangan tersebut dan terbebaslah burung gereja yang malang dari jeratan tali layangan. Terbang, mencicit riang dan mungkin pulang untuk berkumpul kembali dengan anak-anak atau sanak-saudaranya yang mungkin cemas menunggu.. Dalam hati saya tertawa kecil, mereka-reka mungkin saja si burung bilang, 'tarenkyu pisan atas pertolongan akang!'.  Sebenarnya saya sendiri terkejut, kok bisa-bisanya kena padahal letak tali tersebut cukup tinggi. Sejenak saya merasa memiliki kepiawaian yang mirip dengan Agung Sedayu dalam hal ilmu melempar seperti yang dikisahkan oleh SH Mintarja dalam serialnya yang legendaris Api Di Bukit Menoreh. Meski saat ini saya belum mampu membantu kesulitan orang lain, upaya saya pagi ini meski tidak begitu berarti, namun benar-benar telah memberi kelegaan yang luar biasa. Lagi-lagi bagi saya, hal ini semacam hadiah surgawi yang memang khusus diperuntukkan bagi saya pagi ini.


Kemudian saya teringat semboyan suci klasik yang kemudian digunakan atau terkadang di-salahguna-kan oleh sekelompok oknum militer, de oppresso liber, to liberate the oppressed,  membebaskan yang tertindas, membebaskan yang sedang mengalami kesulitan. Saya hanya mampu merenung andai saja saya dapat berbuat lebih banyak dan lebih nyata bagi orang lain yang lebih sulit dari saya. Walaaah baru sampai di angan-angan saja.


// Pernah saya muat di milis ia-itb74 dengan nomor message #21823
// Telah diedit seperlunya tanpa merubah maknanya.




-

No comments:

Post a Comment